Minggu, 17 Februari 2008

Indikator Air Bersih

Daerah aliran sungai (DAS) didefinisi sebagai suatu daerah yang dibatasi oleh garis ketinggian yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui satu outlet. Komponen DAS meliputi hutan – yang berfungsi sebagai recharge area, sumber air, sungai (hulu sampai hilir), dan daerah sekitar sungai.
Laporan status LH Indonesia 2002 yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa penggunaan lahan di daerah tangkapan air (catchment area) sangat mempengaruhi ketersediaan air. Hutan, danau, rawa dan situ merupakan tempat yang mempunyai fungsi untuk menahan dan menyerap air hujan sehingga cadangan air relatif akan stabil dari waktu ke waktu. Di lain pihak meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan ekonomi menyebabkan semakin meningkatnya tekanan terhadap lahan. Hutan semakin lama semakin berkurang karena berubah fungsi menjadi daerah permukiman, industri, dan pertanian.

Data dari Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2001, menunjukkan dalam selang waktu 1994–1999 pengurangan penggunaan lahan untuk hutan di Indonesia mencapai enam juta km2. Pengurangan penggunaan lahan untuk hutan terbesar terjadi di Sumatera yaitu sekitar tiga juta km2, diikuti Sulawesi sebesar 1,2 juta km2, Kalimantan sebesar 886 ribu km2, dan Maluku-Papua sebesar 679 ribu km2. Sementara itu penambahan lahan untuk kegiatan non-pertanian (perumahan, industri, dan lain-lain) justru meningkat di mana penambahan terbesar terjadi di pulau Sumatera dan Jawa masing-masing sebesar 270 ribu km2 dan 222 ribu km2.

Setiap aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem DAS harus mengacu pada suatu tujuan, yaitu menjaga kelestarian lingkungan untuk kemanfaatan bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Kelestarian lingkungan dalam sistem DAS mencakup kelestarian di hulu hingga hilir, artinya hutan, daerah tangkapan air, dan sistem sungai berfungsi dengan baik dan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Sistem DAS mempunyai arti penting dalam hubungan ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilir. Kerusakan hutan di hulu akan berpengaruh pada kondisi sungai di hulu hingga hilir. Keterkaitan yang kuat antara hulu dan hilir ini melahirkan gagasan untuk mengembangkan suatu indikator yang mampu menunjukkan kondisi DAS. Indikator ini harus dengan mudah dapat dilihat oleh masyarakat luas sehingga dapat digunakan sebagai instrumen pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan di wilayah DAS. Salah satu indikator yang dapat dikembangkan adalah indikator kualitas air di sungai. Dengan melihat kondisi kualitas air sungai, dapat diketahui kondisi hulu sungai, seperti kondisi hutan dan daerah sekitar sungai di hulu.

PARAMETER KUALITAS AIR

Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran menyatakan bahwa untuk menjamin kualitas air yang dinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan kualitas air. Upaya pengelolaan kualitas air dilakukan pada :

  • sumber yang terdapat di dalam hutan lindung;
  • mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
  • akuifer air tanah dalam

Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan yang dapat diamati secara visual/kasat mata. Yang termasuk dalam parameter fisik ini adalah kekeruhan, kandungan partikel/padatan, warna, rasa, bau, suhu, dan sebagainya.

Parameter kimia menyatakan kandungan unsur/senyawa kimia dalam air, seperti kandungan oksigen, bahan organik (dinyatakan dengan BOD, COD, TOC), mineral atau logam, derajat keasaman, nutrient/hara, kesadahan, dan sebagainya.

Parameter mikrobiologis menyatakan kandungan mikroorganisme dalam air, seperti bakteri, virus, dan mikroba pathogen lainnya.Berdasarkan hasil pengukuran atau pengujian, air sungai dapat dinyatakan dalam kondisi baik atau cemar. Sebagai acuan dalam menyatakan kondisi tersebut adalah baku mutu air, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001.

INDIKATOR PENGELOLAAN DAS

Kualitas air sungai tergantung pada kondisi di daerah hulu dan daerah yang dilewati oleh aliran sungai. Pencemaran yang terjadi di air sungai pasti disebabkan oleh sumber pencemaran di daerah tersebut. Dari daerah tangkapan hujan dan daerah hulu, pencemaran dapat berasal dari humus di hutan (meningkatkan BOD dan COD, lebih spesifik berupa bahan organik alami), erosi di daerah hutan dan hilir sungai (meningkatkan kandungan padatan dalam air), pengalihan lahan hutan ke pertanian (menigkatkan kandungan pestisida dalam air), dan sebagainya. Dari daerah di sepanjang aliran sungai, pencemaran berasal dari pembuangan air limbah domestik, limbah pertanian, dan limbah industri.

Bagian berikut akan menguraikan tentang beberapa bentuk kerusakan hutan dan pengaruhnya pada aliran sungai, khususnya kualitas air.

a. Penggundulan hutan

Fungsi utama hutan dalam kaitan dengan hidrologi adalah sebagai penahan tanah yang mempunyai kelerengan tinggi, sehingga air hujan yang jatuh di daerah tersebut tertahan dan meresap ke dalam tanah untuk selanjutnya akan menjadi air tanah. Air tanah di daerah hulu merupakan cadangan air bagi sumber air sungai. Oleh karena itu hutan yang terjaga dengan baik akan memberikan manfaat berupa ketersediaan sumber-sumber air pada musim kemarau. Sebaiknya hutan yang gundul akan menjadi malapetaka bagi penduduk di hulu maupun di hilir. Pada musim hujan, air hujan yang jatuh di atas lahan yang gundul akan menggerus tanah yang kemiringannya tinggi. Sebagian besar air hujan akan menjadi aliran permukaan dan sedikit sekali infiltrasinya. Akibatnya adalah terjadi tanah longsor dan atau banjir bandang yang membawa kandungan lumpur. Kasus ini telah terjadi di Jember dan Trenggalek. Pada musim kemarau cadangan air tanah tidak mencukupi, sehingga kemungkinan besar akan terjadi kekurangan air pada daerah hilir atau kekeringan pada lahan pertanian.Pengaruh pada kualitas air sungai adalah:

  • Pada musim hujan, kandungan lumpur dalam air sungai sangat tinggi
  • Pada musim kemarau, pengaruh pembuangan limbah industri dan domestik sangat mempengaruhi kualitas air sungai karena debit sungai kecil

b. Pengalihan hutan menjadi lahan pertanian

Risiko penebangan hutan untuk dijadikan lahan pertanian sama besarnya dengan penggundulan hutan. Penurunan kualitas air sungai dapat terjadi akibat erosi. Selain akan meningkatnya kandungan zat padat tersuspensi (suspended solid) dalam air sungai sebagai akibat dari sedimentasi, juga akan diikuti oleh meningkatnya kesuburan air dengan meningkatnya kandungan hara dalam air sungai.Kebanyakan kawasan hutan yang diubah menjadi lahan pertanian mempunyai kemiringan diatas 25%, sehingga bila tidak memperhatikan faktor konservasi tanah, seperti pengaturan pola tanam, pembuatan teras dan lain-lain, maka akan berakibat masuknya pupuk dan pestisida kedalam air sungai karena terbawa oleh air limpasan (run off).

c. Pengalihan hutan menjadi lahan perkebunan

Penebangan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan belum dapat dikatakan aman. Tanaman perkebunan mempunya sifat yang berbeda dengan tanaman hutan. Kekuatan tanaman perkebunan dalam menahan air hujan tidak sebesar kekuatan tanaman hutan yang biasanya telah berumur puluhan tahun dengan akar yang menghunjam jauh ke dalam tanah. Oleh karena itu risiko tanah longsor maupun banjir lumpur masih menjadi ancaman pada daerah ini. Pengaruh pada kualitas air sungai hampir sama dengan pembukaan lahan pertanian.

d. Pengalihan hutan menjadi daerah terbangun

Pendirian bangunan di daerah tangkapan air, misal permukiman, industri, hotel dan lain-lain, akan menurunkan kemampuan air menginfiltrasi ke dalam air tanah. Akibatnya adalah limpasan air permukaan menjadi besar dan menyebabkan banjir di daerah hilir. Kasus ini telah terjadi di Bogor (hulu) dan Jakarta (hilir). Risiko pengalihan hutan menjadi daerah terbangun lebih besar daripada penggundulan hutan karena infiltrasi lebih kecil dan beban massa lebih besar, sehingga kemungkinan longsor lebih besar. Pengaruh pada kualitas air sama dengan penggundulan hutan.

Uraian di atas menggambarkan hubungan kondisi di hulu DAS dengan kualitas air sungai di hilir. Berdasarkan hubungan ini, indikator dapat dikembangkan sebagai berikut:

A. Indikator kandungan bahan organik

Bahan organik dalam air sungai dapat dikelompokkan menjadi bahan organik alami (asam humat dan asam fulvat) dan bahan organik non-alami. Bahan organik alami berasal dari humus yang banyak terdapat di permukaan tanah hutan, sementara bahan organik non-alami berasal dari limbah domestik, pertanian, dan industri.Hutan yang terjaga baik, kandungan humusnya tidak banyak terbawa ke air sungai karena hujan yang jatuh di atas tanah hutan sebagian besar meresap ke dalam tanah dan kandungan humus akan teradsorpsi oleh komponen tanah, sehingga tidak sampai mesuk ke air tanah dan sumber air. Sebaliknya, hutan yang telah rusak, erosi permukaan tanah hutan cukup besar. Humus akan terbawa oleh limpasan permukaan dan masuk ke sungai.Jadi, kandungan bahan organik alami yang tinggi dalam air sungai mengindikasikan kondisi hulu DAS yang hutannya telah rusak.

B. Indikator kandungan padatan

Kandungan padatan dalam air sungai berasal dari air limbah atau hasil erosi di hulu sungai. Terdapat perbedaan yang mencolok antara padatan yang berasal dari erosi dan air limbah. Padatan dari erosi umumnya adalah padatan yang mudah mengendap (settleable solid) karena mempunyai ukuran partikel yang besar, sementara padatan dari air limbah cenderung berukuran kecil dan tersuspensi, bahkan terlarut. Pada musim hujan, kandungan lumpur yang sangat tinggi akan terbawa sampai ke hilir karena debit air yang besar. Tetapi, pada musim kemarau dengan debit yang kecil, lumpur telah mengendap di daerah hulu. Hal ini akan menjadi permasalahan yang serius berupa terjadinya pendangkalan pada waduk.Jadi kandungan lumpur yang sangat besar pada musim hujan dapat dijadikan indikator telah rusaknya hutan di daerah hulu.

DAS BRANTAS

Untuk melengkapi uraian tentang indikator DAS ini, di bawah ini disajikan studi kasus di DAS Brantas. Sungai Brantas memiliki arti penting bagi Provinsi Jawa Timur sebagai sumber air bagi kelangsungan hidup masyarakatnya. Sungai ini melintasi 15 wilayah di Provinsi Jawa Timur, yaitu Kota Batu, Kabupaten/Kota Malang, Kabupaten/Kota Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten/Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Jombang, Kabupaten/Kota Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kota Surabaya. Sumber air Sungai Brantas berada di kaki Gunung Arjuno. Sepanjang pengalirannya, Sungai Brantas dimanfaatkan sebagai sumber air bagi penyediaan air minum, pertanian, perikanan, perindustrian, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Indikator DAS dengan kualitas air dicoba untuk diaplikasikan di DAS Brantas. Perum Jasa Tirta I (PJT I) tidak melakukan pemantauan secara spesifik kandungan bahan organik alami dan non-alami. Parameter yang diamati untuk mewakili kandungan bahan organik adalah BOD dan COD. Oleh karena itu indikator yang pertama belum bisa diterapkan. Indikator kedua, parameter yang dapat digunakan dari data PJT I adalah kadar TSS.

Data tersebut menunjukkan kandungan TSS musim hujan lebih tinggi daripada musim kemarau dengan perbandingan sekitar 6:1. Hal ini telah mengindikasikan terjadi erosi di hulu sungai maupun di sepanjang aliran sungai.

मेमिसह्कन एयर दरी बहन bakar बरु dengan membran jenis baru

Parameter Kualitas Air

Daerah aliran sungai (DAS) didefinisi sebagai suatu daerah yang dibatasi oleh garis ketinggian yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui satu outlet. Komponen DAS meliputi hutan – yang berfungsi sebagai recharge area, sumber air, sungai (hulu sampai hilir), dan daerah sekitar sungai.
Laporan status LH Indonesia 2002 yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa penggunaan lahan di daerah tangkapan air (catchment area) sangat mempengaruhi ketersediaan air. Hutan, danau, rawa dan situ merupakan tempat yang mempunyai fungsi untuk menahan dan menyerap air hujan sehingga cadangan air relatif akan stabil dari waktu ke waktu. Di lain pihak meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan ekonomi menyebabkan semakin meningkatnya tekanan terhadap lahan. Hutan semakin lama semakin berkurang karena berubah fungsi menjadi daerah permukiman, industri, dan pertanian.

Data dari Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2001, menunjukkan dalam selang waktu 1994–1999 pengurangan penggunaan lahan untuk hutan di Indonesia mencapai enam juta km2. Pengurangan penggunaan lahan untuk hutan terbesar terjadi di Sumatera yaitu sekitar tiga juta km2, diikuti Sulawesi sebesar 1,2 juta km2, Kalimantan sebesar 886 ribu km2, dan Maluku-Papua sebesar 679 ribu km2. Sementara itu penambahan lahan untuk kegiatan non-pertanian (perumahan, industri, dan lain-lain) justru meningkat di mana penambahan terbesar terjadi di pulau Sumatera dan Jawa masing-masing sebesar 270 ribu km2 dan 222 ribu km2.

Setiap aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem DAS harus mengacu pada suatu tujuan, yaitu menjaga kelestarian lingkungan untuk kemanfaatan bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Kelestarian lingkungan dalam sistem DAS mencakup kelestarian di hulu hingga hilir, artinya hutan, daerah tangkapan air, dan sistem sungai berfungsi dengan baik dan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Sistem DAS mempunyai arti penting dalam hubungan ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilir. Kerusakan hutan di hulu akan berpengaruh pada kondisi sungai di hulu hingga hilir. Keterkaitan yang kuat antara hulu dan hilir ini melahirkan gagasan untuk mengembangkan suatu indikator yang mampu menunjukkan kondisi DAS. Indikator ini harus dengan mudah dapat dilihat oleh masyarakat luas sehingga dapat digunakan sebagai instrumen pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan di wilayah DAS. Salah satu indikator yang dapat dikembangkan adalah indikator kualitas air di sungai. Dengan melihat kondisi kualitas air sungai, dapat diketahui kondisi hulu sungai, seperti kondisi hutan dan daerah sekitar sungai di hulu.

PARAMETER KUALITAS AIR

Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran menyatakan bahwa untuk menjamin kualitas air yang dinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan kualitas air. Upaya pengelolaan kualitas air dilakukan pada :

  • sumber yang terdapat di dalam hutan lindung;
  • mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
  • akuifer air tanah dalam

Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan yang dapat diamati secara visual/kasat mata. Yang termasuk dalam parameter fisik ini adalah kekeruhan, kandungan partikel/padatan, warna, rasa, bau, suhu, dan sebagainya.

Parameter kimia menyatakan kandungan unsur/senyawa kimia dalam air, seperti kandungan oksigen, bahan organik (dinyatakan dengan BOD, COD, TOC), mineral atau logam, derajat keasaman, nutrient/hara, kesadahan, dan sebagainya.

Parameter mikrobiologis menyatakan kandungan mikroorganisme dalam air, seperti bakteri, virus, dan mikroba pathogen lainnya.Berdasarkan hasil pengukuran atau pengujian, air sungai dapat dinyatakan dalam kondisi baik atau cemar. Sebagai acuan dalam menyatakan kondisi tersebut adalah baku mutu air, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001.

INDIKATOR PENGELOLAAN DAS

Kualitas air sungai tergantung pada kondisi di daerah hulu dan daerah yang dilewati oleh aliran sungai. Pencemaran yang terjadi di air sungai pasti disebabkan oleh sumber pencemaran di daerah tersebut. Dari daerah tangkapan hujan dan daerah hulu, pencemaran dapat berasal dari humus di hutan (meningkatkan BOD dan COD, lebih spesifik berupa bahan organik alami), erosi di daerah hutan dan hilir sungai (meningkatkan kandungan padatan dalam air), pengalihan lahan hutan ke pertanian (menigkatkan kandungan pestisida dalam air), dan sebagainya. Dari daerah di sepanjang aliran sungai, pencemaran berasal dari pembuangan air limbah domestik, limbah pertanian, dan limbah industri.

Bagian berikut akan menguraikan tentang beberapa bentuk kerusakan hutan dan pengaruhnya pada aliran sungai, khususnya kualitas air.

a. Penggundulan hutan

Fungsi utama hutan dalam kaitan dengan hidrologi adalah sebagai penahan tanah yang mempunyai kelerengan tinggi, sehingga air hujan yang jatuh di daerah tersebut tertahan dan meresap ke dalam tanah untuk selanjutnya akan menjadi air tanah. Air tanah di daerah hulu merupakan cadangan air bagi sumber air sungai. Oleh karena itu hutan yang terjaga dengan baik akan memberikan manfaat berupa ketersediaan sumber-sumber air pada musim kemarau. Sebaiknya hutan yang gundul akan menjadi malapetaka bagi penduduk di hulu maupun di hilir. Pada musim hujan, air hujan yang jatuh di atas lahan yang gundul akan menggerus tanah yang kemiringannya tinggi. Sebagian besar air hujan akan menjadi aliran permukaan dan sedikit sekali infiltrasinya. Akibatnya adalah terjadi tanah longsor dan atau banjir bandang yang membawa kandungan lumpur. Kasus ini telah terjadi di Jember dan Trenggalek. Pada musim kemarau cadangan air tanah tidak mencukupi, sehingga kemungkinan besar akan terjadi kekurangan air pada daerah hilir atau kekeringan pada lahan pertanian.Pengaruh pada kualitas air sungai adalah:

  • Pada musim hujan, kandungan lumpur dalam air sungai sangat tinggi
  • Pada musim kemarau, pengaruh pembuangan limbah industri dan domestik sangat mempengaruhi kualitas air sungai karena debit sungai kecil

b. Pengalihan hutan menjadi lahan pertanian

Risiko penebangan hutan untuk dijadikan lahan pertanian sama besarnya dengan penggundulan hutan. Penurunan kualitas air sungai dapat terjadi akibat erosi. Selain akan meningkatnya kandungan zat padat tersuspensi (suspended solid) dalam air sungai sebagai akibat dari sedimentasi, juga akan diikuti oleh meningkatnya kesuburan air dengan meningkatnya kandungan hara dalam air sungai.Kebanyakan kawasan hutan yang diubah menjadi lahan pertanian mempunyai kemiringan diatas 25%, sehingga bila tidak memperhatikan faktor konservasi tanah, seperti pengaturan pola tanam, pembuatan teras dan lain-lain, maka akan berakibat masuknya pupuk dan pestisida kedalam air sungai karena terbawa oleh air limpasan (run off).

c. Pengalihan hutan menjadi lahan perkebunan

Penebangan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan belum dapat dikatakan aman. Tanaman perkebunan mempunya sifat yang berbeda dengan tanaman hutan. Kekuatan tanaman perkebunan dalam menahan air hujan tidak sebesar kekuatan tanaman hutan yang biasanya telah berumur puluhan tahun dengan akar yang menghunjam jauh ke dalam tanah. Oleh karena itu risiko tanah longsor maupun banjir lumpur masih menjadi ancaman pada daerah ini. Pengaruh pada kualitas air sungai hampir sama dengan pembukaan lahan pertanian.

d. Pengalihan hutan menjadi daerah terbangun

Pendirian bangunan di daerah tangkapan air, misal permukiman, industri, hotel dan lain-lain, akan menurunkan kemampuan air menginfiltrasi ke dalam air tanah. Akibatnya adalah limpasan air permukaan menjadi besar dan menyebabkan banjir di daerah hilir. Kasus ini telah terjadi di Bogor (hulu) dan Jakarta (hilir). Risiko pengalihan hutan menjadi daerah terbangun lebih besar daripada penggundulan hutan karena infiltrasi lebih kecil dan beban massa lebih besar, sehingga kemungkinan longsor lebih besar. Pengaruh pada kualitas air sama dengan penggundulan hutan.

Uraian di atas menggambarkan hubungan kondisi di hulu DAS dengan kualitas air sungai di hilir. Berdasarkan hubungan ini, indikator dapat dikembangkan sebagai berikut:

A. Indikator kandungan bahan organik

Bahan organik dalam air sungai dapat dikelompokkan menjadi bahan organik alami (asam humat dan asam fulvat) dan bahan organik non-alami. Bahan organik alami berasal dari humus yang banyak terdapat di permukaan tanah hutan, sementara bahan organik non-alami berasal dari limbah domestik, pertanian, dan industri.Hutan yang terjaga baik, kandungan humusnya tidak banyak terbawa ke air sungai karena hujan yang jatuh di atas tanah hutan sebagian besar meresap ke dalam tanah dan kandungan humus akan teradsorpsi oleh komponen tanah, sehingga tidak sampai mesuk ke air tanah dan sumber air. Sebaliknya, hutan yang telah rusak, erosi permukaan tanah hutan cukup besar. Humus akan terbawa oleh limpasan permukaan dan masuk ke sungai.Jadi, kandungan bahan organik alami yang tinggi dalam air sungai mengindikasikan kondisi hulu DAS yang hutannya telah rusak.

B. Indikator kandungan padatan

Kandungan padatan dalam air sungai berasal dari air limbah atau hasil erosi di hulu sungai. Terdapat perbedaan yang mencolok antara padatan yang berasal dari erosi dan air limbah. Padatan dari erosi umumnya adalah padatan yang mudah mengendap (settleable solid) karena mempunyai ukuran partikel yang besar, sementara padatan dari air limbah cenderung berukuran kecil dan tersuspensi, bahkan terlarut. Pada musim hujan, kandungan lumpur yang sangat tinggi akan terbawa sampai ke hilir karena debit air yang besar. Tetapi, pada musim kemarau dengan debit yang kecil, lumpur telah mengendap di daerah hulu. Hal ini akan menjadi permasalahan yang serius berupa terjadinya pendangkalan pada waduk.Jadi kandungan lumpur yang sangat besar pada musim hujan dapat dijadikan indikator telah rusaknya hutan di daerah hulu.

DAS BRANTAS

Untuk melengkapi uraian tentang indikator DAS ini, di bawah ini disajikan studi kasus di DAS Brantas. Sungai Brantas memiliki arti penting bagi Provinsi Jawa Timur sebagai sumber air bagi kelangsungan hidup masyarakatnya. Sungai ini melintasi 15 wilayah di Provinsi Jawa Timur, yaitu Kota Batu, Kabupaten/Kota Malang, Kabupaten/Kota Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten/Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Jombang, Kabupaten/Kota Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kota Surabaya. Sumber air Sungai Brantas berada di kaki Gunung Arjuno. Sepanjang pengalirannya, Sungai Brantas dimanfaatkan sebagai sumber air bagi penyediaan air minum, pertanian, perikanan, perindustrian, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Indikator DAS dengan kualitas air dicoba untuk diaplikasikan di DAS Brantas. Perum Jasa Tirta I (PJT I) tidak melakukan pemantauan secara spesifik kandungan bahan organik alami dan non-alami. Parameter yang diamati untuk mewakili kandungan bahan organik adalah BOD dan COD. Oleh karena itu indikator yang pertama belum bisa diterapkan. Indikator kedua, parameter yang dapat digunakan dari data PJT I adalah kadar TSS.

Data tersebut menunjukkan kandungan TSS musim hujan lebih tinggi daripada musim kemarau dengan perbandingan sekitar 6:1. Hal ini telah mengindikasikan terjadi erosi di hulu sungai maupun di sepanjang aliran sungai.

PUSTAKA:

Sabtu, 02 Februari 2008

konversi energi

LAUT selain menjadi sumber pangan juga mengandung beraneka sumber daya energi. Kini para ahli menaruh perhatian terhadap laut sebagai upaya mencari jawaban terhadap tantangan kekurangan energi di waktu mendatang dan upaya menganekakan penggunaan sumber daya energi.

KESENJANGAN antara kebutuhan dan persediaan energi merupakan masalah yang perlu segera dicari pemecahannya. Apalagi mengingat perkiraan dan perhi- tungan para ahli pada tahun 2010-an produksi minyak akan menurun tajam dan bisa menja- di titik awal kesenjangan energi.

Namun, pengembangan sumber energi alternatif memerlukan waktu sebelum sampai pada pemanfaatan secara ekonomi. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Perancis, Kanada, Jepang, Belanda, dan Korea telah mulai meneliti kemungkinan pemanfaatan energi dari laut terutama panas laut, gelombang dan pasang surut, dengan hasil yang memberikan harapan cukup baik.

Energi samudera dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu energi panas laut, energi pasang surut, dan energi gelombang. Untuk lautan di wilayah Indonesia, potensi termal 2,5 x 1023 joule dengan efisiensi konversi energi panas laut sebesar tiga persen dapat menghasilkan daya sekitar 240.000 MW.

Potensi energi panas laut yang baik terletak pada daerah antara 6- 9° lintang selatan dan 104-109° bujur timur. Di daerah tersebut pada jarak kurang dari 20 km dari pantai didapatkan suhu rata-rata permukaan laut di atas 28°C dan didapatkan perbedaan suhu permukaan dan kedalaman laut (1.000 m) sebesar 22,8°C. Sedangkan perbedaan suhu rata-rata tahunan permukaan dan kedalaman lautan (650 m) lebih tinggi dari 20°C. Dengan potensi sumber energi yang melimpah, konversi energi panas laut dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia.

Energi pasang surut

Wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau. Cukup banyak selat sempit yang membatasinya maupun teluk yang dimiliki masing-masing pulau. Hal ini memungkinkan untuk memanfaatkan energi pasang surut. Saat laut pasang dan saat laut surut aliran airnya dapat menggerakkan turbin untuk membangkitkan listrik.

Pemanfaatan pusat listrik energi pasang surut direalisasikan di La Ranche Perancis diikuti oleh Rusia di Murmansh, Lumboy, Tae Menzo Boy, dan The Thite Sea. Tidak jauh dari Indonesia, ada Australia yang memanfaatkannya di Kimberly. Saat ini potensi energi pasang surut di seluruh samudera di dunia tercatat 3.106 MW.

Untuk Indonesia daerah yang potensial adalah sebagian Pulau Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua, dan pantai selatan Pulau Jawa, karena pasang surutnya bisa lebih dari lima meter.

Mekanisme pusat listrik energi pasang surut tergantung pada beberapa faktor: arah angin, kecepatan, lamanya bertiup, dan luas daerah yang dipengaruhi. Oleh karena itu, di dalam penelitian mengenai energi ini faktor meteorologi/geofisika menjadi kuncinya.

Pada pemanfaatan energi ini diperlukan daerah yang cukup luas untuk menampung air laut (reservoir area). Namun, sisi positifnya adalah tidak menimbulkan polutan bahan-bahan beracun baik ke air maupun udara.

Selain panas laut dan pasang surut, masih ada energi samudera lain yaitu energi gelombang. Sudah banyak pemikiran untuk mempelajari kemungkinan pemanfaatan energi yang tersimpan dalam ombak laut. Salah satu negara yang sudah banyak meneliti hal ini adalah Inggris.

Menurut pengamatan Hulls, deretan ombak (gelombang) yang terdapat di sekitar pantai Selandia Baru dengan tinggi rata-rata 1 meter dan periode 9 detik mempunyai daya sebesar 4,3 kW per meter panjang ombak. Sedangkan deretan ombak serupa dengan tinggi 2 meter dan 3 meter dayanya sebesar 39 kW per meter panjang ombak. Untuk ombak dengan ketinggian 100 meter dan perioda 12 detik menghasilkan daya 600 kW per meter.

Karena beberapa laut di Indonesia mempunyai ombak dengan ketinggian di atas 5 meter, maka potensi energi gelombangnya perlu diteliti lebih jauh.

Teknologi yang diperlukan

Konversi energi panas laut adalah sistem konversi energi yang terjadi akibat perbedaan suhu di permukaan dan di bawah laut menjadi energi listrik. Potensi terbesar konversi energi panas laut untuk pembangkitan listrik terletak di khatulistiwa. Soalnya, sepanjang tahun di daerah khatulistiwa suhu permukaan laut berkisar antara 25-30°C, sedangkan suhu di bawah laut turun 5-7°C pada kedalaman lebih dari 500 meter.

Terdapat dua siklus konversi energi panas laut, yaitu siklus Rankine terbuka dan siklus Rankine tertutup. Sebagai pembangkit tenaga listrik, konversi energi panas laut siklus Rankine terbuka memerlukan diameter turbin sangat besar untuk menghasilkan daya lebih besar dari 1MW, sedangkan komponen yang tersedia belum memungkinkan untuk menghasilkan daya sebesar itu, alternatif lain yaitu siklus Rankine tertutup dengan fluida kerja amonia atau freon.

Berdasarkan letak penempatan pompa kalor, konversi energi panas laut dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, konversi energi panas laut landasan darat, konversi energi panas laut terapung landasan permanen, dan konversi energi panas laut terapung kapal.

Konversi energi panas laut landasan darat alat utamanya terletak di darat, hanya sebagian kecil peralatan yang menjorok ke laut. Kelebihan sistem ini adalah dayanya lebih stabil dan pemeliharaannya lebih mudah. Kekurangan sistem jenis ini membutuhkan keadaan pantai yang curam, agar tidak memerlukan pipa air dingin yang panjang.

Status teknologi konversi energi panas laut jenis ini baru pada tahap percontohan dengan kapasitas 100 W dan dengan fluida kerja freon yang dilakukan oleh TEPSCO-Jepang, dengan lokasi percontohan di Kepulauan Nauru. Selain itu dibangun pusat penelitian dan pengembangan konversi energi panas laut landasan darat (STF) yang terletak di Hawaii.

Untuk konversi energi panas laut terapung landasan permanen, diperlukan sistem penambat dan sistem transmisi bawah laut, sehingga permasalahan utamanya pada sistem penambat dan teknologi transmisi bawah laut yang mahal. Jenis ini masih dalam taraf penelitian dan pengembangan.

Konversi energi panas laut terapung kapal beroperasi dengan bebas karena dibangun di atas kapal. Biasanya energi listrik yang dihasilkan untuk memproduksi berbagai bahan yaitu amonia, hidrogen, methanol, dan lain-lain.

Status teknologi konversi energi panas laut jenis ini baru taraf percontohan, dengan nama pembangkit Mini OTEC yang berkapasitas 50 kW dengan lokasi percontohan di laut Hawaii. Mini OTEC menghasilkan daya bersih 10 kW sampai 15 kW. Selain itu, pada tempat yang sama beroperasi konversi energi panas laut dengan nama OTEC1 dengan kapasitas 1 MW.

Perkembangan teknologi konversi energi panas laut di Indonesia baru mencapai status penelitian, dengan jenis konversi energi panas laut landasan darat dan dengan kapasitas 100 kW, lokasi di Bali Utara.

Secara umum kendala pada teknologi konversi energi panas laut adalah efisiensi pemompaan yang masih rendah, korosi pipa, bahan pipa air dingin, dan biofouling, yang semuanya menyangkut investasi. Selain itu kajian sumber daya kelautan masih terbatas terhadap langkah pengembangan konversi energi panas laut.

Energi pasang surut

Tidak kurang dari 100 lokasi di dunia yang dinilai sebagai tempat yang cocok bagi pembangunan pembangkit energi pasang surut. Sistem pemanfaatan energi pasang surut pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu kolam tunggal dan kolam ganda.

Pada sistem pertama energi pasang surut dimanfaatkan hanya pada perioda air surut (ebb period) atau pada perioda air naik (flood time). Sedangkan sistem yang kedua adalah kolam ganda kedua perioda baik sewaktu air pasang maupun air surut energinya dimanfaatkan. Turbin dan saluran terletak dalam satu bendungan (dam) yang memisahkan kolam dan laut. Sewaktu air pasang permukaan air di kolam sama dengan permukaan laut. Sewaktu air mulai surut terjadilah perbedaan tinggi air (head) antara kolam dan laut yang menyebabkan air mulai mengalir ke arah laut dan memutar turbin.

Pada sistem kolam ganda turbin akan berkerja dalam dua arah aliran. Kedua kolam dipisahkan oleh satu bendungan (dam) yang didalamnya terdapat turbin dua arah, masing-masing kolam memiliki saluran yang menghubungkan dengan laut. Meskipun turbin bekerja terus-menerus tetapi kecepatannya bervariasi, selain dengan perbedaan tinggi permukaan air di kolam dan permukaan laut. Perbedaan tinggi antara permukaan air di kolam dan permukaan air laut di tempat-tempat energi pasang surut berkisar beberapa meter sampai 13 meter.

Penelitian pemanfaatan energi pasang surut telah dilakukan oleh beberapa negara; Perancis, Rusia, Amerika Serikat, dan Kanada sejak tahun 1920. Sete- lah lebih dari 40 tahun-tahun 1966- pembangkit energi listrik berkekuatan 240 MW yang digerakan oleh tenaga pasang surut berhasil dibangun oleh Perancis di pantai Estuari Rance. Di Rusia ada proyek energi pasang surut dengan kapasitas 2176 MW di Bay of Fundy.

Berdasarkan estimasi kasar jumlah energi pasang surut di samudera seluruh dunia adalah 3.106 MW. Khusus untuk Indonesia beberapa daerah yang mempunyai potensi energi pasang surut adalah Bagan Siapi-api, yang pasang surutnya mencapai 7 meter, Teluk Palu yang ini struktur geologinya merupakan patahan (Palu Graben) sehingga memungkinkan gejala pasang surut, Teluk Bima di Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Kalimantan Barat, Papua, dan Pantai Selatan Pulau Jawa.

Energi gelombang

Gelombang laut merupakan salah satu bentuk energi yang bisa dimanfaatkan dengan mengetahui tinggi gelombang, panjang gelombang, dan periode waktunya. Ada empat teknologi energi gelombang yaitu sistem rakit Cockerell, tabung tegak Kayser, pelampung Salter, dan tabung Masuda.

Sistem rakit Cockerell berbentuk untaian rakit-rakit yang saling dihubungkan dengan engsel-engsel dan sistem ini bergerak naik turun mengikuti gelombang laut. Gerakan relatif rakit-rakit menggerakkan pompa hidrolik yang berada di antara dua rakit.

Sistem tabung tegak Kayser menggunakan pelampung yang bergerak naik turun dalam tabung karena adanya tekanan air. Gerakan relatif antara pelampung dan tabung menimbulkan tekanan hidrolik yang dapat diubah menjadi energi listrik.

Sistem Pelampung Salter memanfaatkan gerakan relatif antara bagian/pembungkus luar (external hull) dan bandul didalamnya (internal pendulum) untuk diubah menjadi energi listrik.

Pada sistem tabung Masuda metodenya adalah memanfaatkan gerak gelombang laut masuk ke dalam ruang bawah dalam pelampung dan menimbulkan gerakan perpindahan udara di bagian ruangan atas dalam pelampung. Gerakan perpindahan udara ini dapat menggerakkan turbin udara.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Finlandia, dan Belanda, banyak menaruh perhatian pada energi ini. Lokasi potensial untuk membangun sistem energi gelombang adalah di laut lepas, daerah lintang sedang dan di perairan pantai. Energi gelombang bisa dikembangkan di Indonesia di laut selatan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.